Rabu, 06 Agustus 2014

senin 28 april 2014

Hari ini saya tidak ketinggalan waktu shalat subuh, lega rasanya, karena bangun tepat saat fajar belum terbit. Sudah menjadi rutinitas saya di pagi hari sebelum pergi ke kampus, yaitu mencuci piring, mencuci baju, dsb. Pekerjaan sehari-hari itu menjadi tanggungjawab dan wajib dilaksanakan, agar keindahan dan kenyamanan tetap terjaga, awalnya terasa sedikit terbebani, tapi apa mau dikata, tak bisa mengelak lagi, apalagi saya seorang anak perempuan yang paling besar di keluarga. Ternyata setelah dinikmati terasa enjoy. Meskipun lelah dan keluh kesah sesekali terucap, karena tidak ada kerjasama yang baik antar anggota keluarga.
Mereka masih menganggap bahwa ini adalah pekerjaan kodrati yang memang harus dilakukan oleh perempuan. Sedikit sulit memberikan pemahaman pada mereka, bahwa sebenarnya dibutuhkan kerjasama yang baik dalam melakukan peran sosialnya. antara laki-laki dan perempuan, perlu kesabaran, butuh waktu dan secara perlahan untuk menjelaskan perihal itu. Saya pikir ini adalah kontradiksi yang masih wajar, disebabkan pendidikan dan pengalaman serta pengetahuan yang didapat berbeda antara satu anggota keluarga dengan anggota lainnya.
 Sederhana sebenarnya, saya hanya ingin membebaskan dan meringankan beban mamah, bertahun-tahun berada dalam kungkungan budaya patriarki, walaupun harus menjeburkan diri juga dalam budaya itu, hanya ingin melihat senyum di wajahnya. Jelas sekali tekanan dan rasa bersalah bahkan seperti berdosa menghantui prasangka hatinya, ketika tidak menyiapkan hidangan, dan tidak bisa mencuci, serta mengatur keadaan rumah, dll, karena sudah tidak mampunya dia lakukan hanya seorang diri. Mereka (baca: laki-laki) tidak ingin tahu dan tidak membantu bahkan melirik pekerjaannya saja enggan, hendak saya beritakan, bukanlah kesalahan dan dosa yang besar bagi perempuan ketika sudah di luar batas kemampuannya, dan jangan menghakimi dia. Bagai seorang penjahat yang dikurung dalam sel tahanan. Sudah saatnya, membangun relasi yang baik, dengan membagi peran, berbagi kisah sakit dan suka cita. Sesungguhnya ada hubungan ketersalingan  dalam berelasi.
Pukul 10.00 saya berangkat ke kampus dengan menggunakan angkot, tergesa-gesa turun dari mobil saat tiba di depan kampus. Langkah kaki yang cepat penuh dengan spirit dan optimisme, sambil membawa map yang berisikan skripsi, begitu percaya diri bahwa aku akan ketemu dengan dosen pembimbing. Tapi hasilnya nihil, di fakultas syariah tidak ada dosen yang akan saya temui untuk konsultasi. Akhirnya aku hanya duduk di ruang tunggu, berlalu lalang mahasiswa, mereka adalah adik kelas di jurusan AAS. Sejenak keberadaan mereka mengingatkan masa silam, saat aku masih kuliah.
Aku melalui proses yang panjang, utntuk menjadi aku yang sekarang. Mulai dari belajar berbicara, belajar menulis, dan belajar berorganisasi serta mengaji. Saya lakukan itu semua, sejatinya untuk bekal hidup saya di masa mendatang. Bukan hal yang mudah memang tapi memberikan makna bahwa hidup adalah menghidupi. Saya termasuk orang yang paling beruntung dan mempunyai kesempatan yang lebih, mendapatkan kepercayaan dari orang tua juga segenap sahabat-sahabatku. Tak akan pernah ku sia-siakan, namun waktu terus berlalu dan tak akan pernah mundur, saat ini ku sedang menyiapakan diri dan menata hidup di masa yang akan datang. Namun saat ini skripsi perkara yang harus aku selesaikan dalam waktu dekat, untuk mengawali kehidupan yang baru.
Kring..kring..!!! suara dering HP, membuyarkan lamunanku saat mengenang masa lalu. Ternyata pesan dari dosen yang mengabarkan kealfaannya, tidak bisa membimbing hari ini. Kemudian disusul dengan pesan dari Pa Dr. H Slamet Firdaus, “nti stlh dhur”, begitu isi pesannya. Akhirnya sambil menunggu waktu duhur, aku bangun dari kursi dan melanjutkan perjalanan menuju warung kopi babeh, tempat biasa aku nongkrong dengan sahabat-sahabat. Yeahh.. sepi sekali suasananya. Langsung aku mencari posisi duduk yang sedikit nyaman dan memesan minuman dan makan untuk mengisi perut yang sudah terasa lapar.
Menjelang waktu duhur saya pergi ke kosan nanda, tepatnya di al hadid kamar nomor A.1. tempat biasa aku dan sahabat-sahabat rehat juga melaksanakan shalat. Jam 01.00 saya kembali ke fakultas, untuk menemui pa slamet, 1 jam sudah berlalu, tetapi belum juga datang. Duduk berpangku tangan dan menikmati wifi gratis, ngobrol dengan pesuruh fakultas, dedi sapaan akrabnya. Itu yang saya lakukan karena fakultas sangat sepi, aaghh langsung updte status “ menunggu itu hal yang membosankan, tapi ini adalah proses yang harus dilalui”, komentarpun berdatangan.
Melihat sekjur datang, aku menyusul ke ruanganya dan bermaksud sowan, kita memang akrab, bahkan dia salah satu dosen yang memberikan perhatian pada saya, suasana mencair dengan obrolan dan candaan, seperti teman sejawat. Eeh pembicaraan semakin lama semakin menyudutkan saya, awalnya dia mengisahkan perjuangan dia waktu menyelesaikan thesisnya di jakarta, dan awal dia berumah tangga juga meniti karir, ujung-ujungnya dia bialang “ mungkin kamu harus nikah, untuk memacu semangat menyelesaikan skripsi, selektif boleh, tapi jangan memaksakan orang untuk perfect. Jusrtu kesempurnaan ada karena saling melengkapi, kekuranganya ditutupi oleh pasanganya”. Ahh lagi-lagi aku mendapatkan khutbah nikah, bermakna tetapi sedikit risi, karena dari sekian banyak orang memandang bahwa aku memasang kriteria yang terlalu tinggi juga sangat selektif, yang menyebabkan sampai saat ini masih sendiri dan perjalanan cintaku tak semulus menjalankan organisasi dsb.
Aku pikir mereka sangat spekulatif, asumsi-asumsi mereka sangat tidak berdasar, karena analisanya tidak melibatkan si subyek, baik pengalaman hidup, latar belakang juga pemikirannya serta psikologinya. Sehingga tidak komprehensif dalam memberikan konklusi. Ceilee bahasanya gaya,, hee... tapi ini fakta, bahwa bicara soal rasa, cinta juga selera adalah perkara yang subyektif dan relatif, serta suara hati lebih mendominasi, daripada suara fikir.
Baiklah akan saya sampaikan sedikit profile saya, tapi nampaknya akan saya buat di judul tulisan yang berbeda. Namun jadi membuat saya bertanya-tanya bagaimana konsep jodoh Tuhan yaa... ??.. ya sudahlah, mungkin jodoh saya masih diperjalanan dan belum tiba waktunya.
Dari ruangan kajur aku beranjak ke ruangan dekanat fak, tidak lama setelah saya duduk, PD III bagian kemahasiwaan, Dr. E. Sugianto memanggil saya, lalu masuk deh dan berbincang, soal HMJ juga soal kebangsaan dan bursa presiden dan konstalasi presiden saat ini. Dosen itu termasuk orang yang unik, karena namanya sudah melambung tinggi di kancah nasional, mengikuti seleksi hakim MK 3 kali, tapi tidak pernah lolos,, hmhm.. salut dengan semangatnya, dan aku harus lebih semangat darinya.     

Hari semakin sore, fakultas mulai sepi, satu persatu orang pergi, tapi aku tak kunjung bertemu dengan pa H. slamet firdaus, akhirnya aku menyusuri jalanan kampus menuju warung tongkrongan,, dengan tujuan menemani ayu untuk makan. Ada alfi menhampiri tempat duduk kami, dia salah seorang yang kami kenal dekat juga, termasuk orang yang nongkrong di babeh, meskipun tubuhnya mungil tetapi umur dia lebih tua, hehe... karena keunikannya dia menjadi bahan and santapan canda tawa kami. Semakin lama semakin gelisah, ingin segera sampai di rumah, tapi ayu sahabatku, juga sebagai pimred mengajak untuk ke rakcer menemui mulyanto, tapi aku tak berselera lagi seperti dulu, maaf sahabat yang juga sebagai pimred la miraposa, komandonya ada di maryam hito si ketua kopri kita, yah dengan bersikukuh saya memutuskan untuk pulang ke rumah di anter oleh alfi sampai di depan gerbang rumah.  End.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Roller Coaster Emosi

Dalam perjalanan hidup kita pasti mengalami pasang surut, dan keadaan yang sering kali berubah-berubah, terkadang kita dihadapkan dengan b...